Tuesday, December 8, 2015

Aplikasi Belajar Menurut Teori Thorndike

Psikologi Belajar
“Aplikasi Belajar Menurut Teori Thorndike”
Penyusun  :
1.      Prayudha Nur Rifki                     (1007010020)
2.      Nabila Zahra        Q. U                (1207010049)
3.      Bambang Wijayanto                    (1307010079)
4.      Anggi Setiawati                           (1407010023)
5.      Denalita Imas Widyaswari           (1407010049)
6.      Gita Listanti                                 (1407010056)
7.      Wiwin Rinanti                              (1407010064)

A.    PENDAHULUAN
Teori belajar adalah teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat proses belajar berlangsung dan kapan proses belajar tersebut berlangung. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendidik, mereka harus memiliki dasar empiris yang kuat untuk mendukung profesi mereka sebagai pengajar. Kemudian kurangnya pemahaman akan pentingnya relevansi pendidikan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan budaya, serta bagaimana bentuk pengajaran untuk siswa dengan beragam kemampuan intelektual.
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Teori pembelajaran yang sudah ada selama ini, hanya terfokus pada kepentingan teoritis semata. Dari permasalahan tersebut, kita menyadari bahwa sebuah teori pembelajaran sebaiknya juga menyangkut suatu praktek untuk membimbing seseorang bagaimana caranya ia memperoleh pengetahuan dan keterampilan, pandangan hidup, serta pengetahuan akan kebudayaan masyarakat sekitarnya.
B.     PEMBAHASAN
1.      Eksperimen  Thorndike
Dalam bukunya Animal Intelligence (1911). Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki) yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam puzzle box tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut : S R S1 R1 dst.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar puzzle box diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar , dan kucing segera lari keluar. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan. Ketika pertama kali hewan tersebut memasuki kotak, ia memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
2.      Inti Teori Thorndike
Thorndike, (Dalam Suryobroto,1984) Thorndike mengatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Dari percobaan tersebut, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
2.        Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan.
3.        Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi begitu juga sebaliknya.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut :
a.         Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.        Hukum Sikap ( Set/ Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c.         Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element). Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d.        Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru.
e.         Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting) Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama. (Suryobroto, 1984)

Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike menyatakan tidak suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian yang di sadari). Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.
3.        Aplikasi Teori Thorndike dalam pendidikan SMA
a.       Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pedidikan harus dirumuskan dengan jelas. Berarti bahwa sebelumnya seorang guru terutama guru SMA harus memiliki tujuan yang hendak dicapai terlebih dahulu dengan begitu guru akan dengan mudah mengetahui apa yang akan diajarkan, dan respon apa yang diharapkan. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-macam situasi.
b.      Agar peserta didik dalam hal ini siswa-siswi SMA dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks. Berawal dari materi-materi yang mudah bertahap hingga ke materi yang sulit. Disini motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Siswa-siswi SMA apabila ia aktif didalam kelas maka ia akan mendapatkan poin tambahan, dan apabila siswa yang kurang dalam beberapa materi ia akan mendapatkan tugas tambahan.
c.       Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah. Untuk SMA misalnya dapat dikembangkan melalui kegiatan ektrakurikuler dan pelajaran-pelajaran social dimana terdapat tugas untuk terjun langsung ke masyarakat.
d.      Pelajaran sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya. Dalam mata pelajaran di SMA misalnya Ekonomi, Fisika, Kimia ataupun Matematika dan yang lainnya yang dipaksakan kepada peserta didik justru akan mematikan penalarannya.



C.    PENUTUP
KESIMPULAN
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar). Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang. Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).

DAFTAR PUSTAKA
Daryono M, 2009, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta
Fajar.S, “TEORI BELAJAR”. Di akses pada tanggal 25 November 2015.
http.staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/..../TEORI%20BELAJAR.pdf
Rosita . K. “TEORI BELAJAR”. Di akses pada tanggal 25 November 2015.
file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR...IIP.../TEORI_pembelajaranx.pdf



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.