Tuesday, October 15, 2019

Kesehatan Mental ditinjau dari Perspektif Tokoh Humanistik; Abraham Maslow


Kesehatan Mental
ditinjau dari
Perspektif Tokoh Humanistik; Abraham Maslow

Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, artinya seseorang mampu menyesuaikan diri, memanfaatkan segala potensi dan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin untuk membawa pada kebahagiaan serta tercapainya keharmonisan dalam hidupnya (Malik, 2011).
Menurut WHO orang dapat dikatakan sehat secara mental apabila ia dapat menyesuaikan diri secara kostuktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya, memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya, merasa lebih puas memberi daripada menerima, secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas, berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan, menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari, menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Secara tidak langsung Maslow menjelaskan bahwa individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya akan memiliki karakteristik yang sama dengan kriteria yang disebutkan oleh WHO sebagai orang yang sehat secara mental, diantaranya adalah memiliki rasa bahwa ia bersaudara dengan semua manusia (Jarvis, 2009). Rasa persaudaraan itu akan memunculkan rasa kasih sayang, tolong menolong dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang dalam kehidupan. Artinya individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya adalah orang yang mampu melihat potensi dirinya sendiri dan berkembang di tengah masyarakat dengan percaya diri sebagai tanda pemenuhan kebutuhan akan perghargaan (esteem needs).
Kontribusi utama Maslow adalah studi intensifnya tentang individu yang sehat, self-fulfilling dan aktualisasi diri. Aktualisasi diri individu memiliki karakteristik sebagai berikut : mereka menerima diri mereka sendiri dan orang lain sebagaimana adanya; dapat menaruh perhatian kepada diri sendiri tetapi juga mampu memahami kebutuhan dan keinginan orang lain; mereka dapat merespon keunikan orang dan situasi (responsif bukan reaktif); mereka dapat menjalin hubungan akrab setidaknya dengan beberapa orang; mereka dapat menjadi kreatif, spontan dan mereka dapat menolak kompromi, artinya bersifat tegas ketika merespon tuntutan realitas (Pervin, 2012). Kualitas pribadi tersebut dimiliki oleh individu sebagai potensi yang dikembangkan, tetapi, hanya individu-individu yang menyadari dan terus meningkatkan kualitas tersebut yang akhirnya bisa sehat secara mental karena bisa mengotimalkan diri dan bisa menyesuaikan diri di lingkungan sosialnya.
Namun, untuk menuju mental yang sehat seringkali manusia dihadapkan dengan berbagai macam tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat aktualisasi tersebut.

A.    Hierarki Kebutuhan
Maslow (1954) mengembangkan teori motivasi manusia yang tujuannya menjelaskan segala jenis keubutuhan manusia dan mengurutkannya menurut tingkat prioritas manusia dalam pemenuhannya.
Kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis dan psikologis, seperti makanan dan kehangatan. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi, kita akan mencari rasa aman. Saat kita sudah merasa aman, maka kebutuhan berikut yang kita cemaskan adalah kebutuhan sosial yaitu menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika kebutuhan sosial sudah terpenuhi, maka kebutuhan berikutnya yang terpenting adalah kebutuhan untuk dihargai (esteem needs). Agar kebutuhan itu terpenyi kita harus berprestasi, menjadi kompeten dan mendapat pengakuan sebagai orang yang berprestasi dan kompeten. Begitu kebutuhan ini terpenuhi, perhatian kita akan beralih pada pemenuhan kebutuhan intelektuan (intellectual needs) kita, termasuk di dalamnya adalah memperoleh pemahaman dan pengetahuan. Kebutuhan berikut di atas kebutuhan intelktual adalah kebutuhan estetis (aestethic needs), yaitu kebutuhan akan keindahan, kerapian dan keseimbangan. Kebutuhan terakhir manusia menurut Maslow adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualization), yaitu menemukan pemenuhan pribadi dan mencapai potensi diri (Jarvis, 2009).
Seringkali, walaupun kebutuhan tersebut telah terpenuhi namun masih ada ketidakpuasan. Ketidakpuasan itulah yang merupakan gejala tidak sehat mental, sehingga tidak akan pernah mencapai pada tingkatan aktualisasi diri karena ketidakpuasan disini akan menyebabkan keputusasaan. Sangat relatif pada setiap individu mengenai titik dimana mereka merasa puas. Orang dengan mental sehat adalah orang yang merasa puas terhadap pemenuhan-pemenuhan dan ditandai dengan keinginan untuk tumbuh dan berkembang, berorientasi pada masa depan dan tetap realistis dan mampu melakukan inovasi bagi diri serta lingkungannya sebagai wujud keseimbangan/keharmonisan fungsi jiwanya.

B.    Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri sebagai manifestasi mental yang sehat adalah bagaimana individu mampu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki. Aktualisasi membutuhkan kepercayaan diri dan konsep diri/citra diri yang positif, cara pikir dan perbuatan yang pofitif pula. Bagaimana seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya jika tidak memiliki kepercayaan diri dan konsep diri yang positif?
Menurut Jarvis (2009) Maslow mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut :
1.     Memiliki persepsi yang akurat tentang realitas.
2.     Menikmati pengalaman baru.
3.     Memiliki keharmonisan fungsi-fungsi jiwa, seakan orang itu merasa dunia selaras dengannya.
4.     Memiliki standar moral yang jelas.
5.     Memiliki selera humor.
6.     Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7.     Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8.     Bersikap demokratis dalam menerima orang lain.
9.     Membutuhkan privasi.
10.  Bebas dari budaya dan lingkungan.
11.  Kreatif.
12.  Spontan.
13.  Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14.  Mengakui sifat dasar manusia.
15.  Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain (menjadi diri sendiri karena menyadari potensi dirinya).

Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri dan menyadari ketidaksempurnaan itu. Aktualisasi diri sebagai ciri individu sehat secara mental tidak mengejar kesempurnaan itu, tetapi untuk mengembangkan potensi dirinya, mengoptimalkan apa yang dimiliki sehingga mampu menjadi individu yang fungsi jiwanya harmonis dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan diatas. Aktualisasi diri merupakan bagaimanan individu itu mampu menyesuaikan diri, mengotimalkan potensi, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya serta mampu mengaktualisasikan diri untuk mencapai kebahagiaan.
Lepas dari bagimana Maslow menjelaskan padangannya mengenai aktualisasi diri, paradigma Humanistik merupakan satu-satunya pendekatan psikologi yang cocok dengan gagasan spiritualitas. Spiritualitas menjadi hal yang sangat penting kaitannya dengan kesehatan mental, kareana menurut Dadang Hawari keseimbangan dimensi yang sehat adalah ketika dimensi Bio-psiko-sosial-spiritual berjalan selaras untuk mewujudkan individu yang sehat baik secara biologis, psikologis, sosial dan spiritual sebagi wujud kesesuaian seluruh aspek kehidupan.



Daftar Pustaka :

Jarvis, Matt. 2009. Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan & Pikiran Manusia. Bandung : Nusa Media
Malik, Imam. 2011. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Teras
Pervin, Lawrence. A., Cervone, Daniel., John, Oliver P. 2012. Psikologi Kepribadian : Teori dan Penelitian.


Share:

Monday, October 14, 2019

KESEHATAN MENTAL


 KESEHATAN MENTAL


Pada umumnya pribadi yang normal memiliki mental yang sehat. Demikian sebaliknya, bagi yang pribadinya abnormal cenderung memiliki mental yang tidak sehat (Yusak Baharuddin, 1999: 13). Orang yang bermental sehat adalah mereka yang memiliki ketenangan batin dan kesegaran jasmani.
Pengertian Secara Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis, kata “mental” berasal dari kata latin, yaitu “mens” atau “mentis” artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental) (Yusak Burhanuddin, 1999: 9).
Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andary dalam Yusak (1999: 9-10), ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Perkembangan Pengertian kesehatan Mental
·         Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis dan psikosis).
·         Pengertian ini terlihat sempit, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian, pengertian ini banyak mendapat sambutan dari kalangan psikiatri (Sururin,2004: 142)
·         Kembali pada istilah neorosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.
·         Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup.
·         Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
·         Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
·         Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, maupun menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin (Sururin,2004: 144).
·         Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154) Menurut H.C. Witherington, kesehatan mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154)
·         Kesehatan Mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang yang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Jiwa (mental) yang sehat keselarasan kondisi fisik dan psikis seseorang akan terjaga. Ia tidak akan mengalami kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental juga memiliki kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun spiritualnya.

Pengertian Jiwa (mental) Sebagai Objek Kajian Kesehatan Mental
·         Di dalam Ensiklopedia Indonesia, Hassan Shadily dkk. (1992: 2787) menulis bahwa kata “Jiwa” berasal dari kata “Psyche” yang berarti jiwa, pikiran, hidup.
·         Dalam agama, jiwa merupakan sebagian dari kerohanian manusia, dalam arti kesanggupan merasakan sesuatu. Suatu makhluk baru dikatakan berjiwa, jika sanggup mengalami, merasa, berkemauan, dan sebagainya (Hassan Shadily dkk.,1991: 1597).
·         Jiwa adalah energi mental yang memiliki kekuatan untuk dapat memotivasi terjadinya proses perilaku yang menjadi bentukan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jiwa)
·         Ilmu Kesehatan Mental, jiwa (mental) yang dijadikan objek kajian ilmu ini tidaklah cukup diartikan sebagai kondisi kejiwaan manusia yang dikaji dari kesehatan pada jaringan syaraf otak atau secara fisik saja. Sehingga jika salah satu simpul saraf otak rusak seseorang akan menderita kelainan jiwa (gila). Sedangkan tidak semua tingkatan gangguan kejiwaan manusia berakibat gila. Sementara pengertian sakit jiwa adalah kondisi kejiwaan seseorang yang tidak mampu mengaktualkan tiga potensi dalam dirinya yaitu adaptasi, regulasi dan interaksi.(http://www.waspada.co.id)

Pengertian Jiwa (mental) yang Sehat
Seorang ahli bijak pernah berkata: ''Kesehatan itu mahkota, tak bisa merasakannya kecuali orang sakit." Nikmat sehat memang menjadi sangat mahal. Apalah artinya bergelimang kekayaan, rumah mewah dengan jabatan dan kekuasaan yang tinggi serta anak-anak yang tampan bila tidak disertai nikmat kesehatan. Karena itulah, semua manusia berlomba untuk mendapatkan nikmat sehat (www.republika.com)
·         Kesehatan Mental dari Perspektif Penyesuaian Diri
Pengertian
Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa ( neurose )
Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana dia hidup dan berinteraksi.
Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan diri.
Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial.

Sehat dan Kesehatan Mental
Kedokteran/Psikiatrik
Sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental.  Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sehat mental artinya tidak ada keluhan mental.

Sehat dari Perspektif Psikologi
Sehat atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan.
Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.

Orientasi penyesuaian diri
Pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Berkaitan dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, sehingga tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental individu dari kondisi kejiwaannya semata.
·         Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya.
·         Individu yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut.

Batasan Sehat dan tidak sehat Mental
·         Tidak ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental.
·         Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah.
·         Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya seseorang.
·          Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental.
·         Penentuan sehat atau sakit mental dilihat dari derajat kesehatan mental.
·         Selain itu, berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan.
·         Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
·         Kesehatan mental seseorang sangat erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat tempat ia hidup, masalah-masalah hidup yang dialami, peran sosial dan pencapaian-pencapaian sosialnya.
·         Kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya.
·         Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya.
·         M. Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan mental, mendefinisikan“kesehatan mental adalah kondisi seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri.”
·         Definisi dari Jahoda mengandung istilah-istilah yang pengertiannya perlu dipahami secara jelas yaitu penyesuaian diri yang aktif, stabilitas diri, penilaian nyata tentang kehidupan dan keadaan diri sendiri.
·         Penyesuaiaan diri berhubungan dengan cara-cara yang dipilih individu untuk mengolah rangsangan, ajakan dan dorongan yang datang dari dalam maupun luar  diri.
·         Penyesuaian diri yang dilakukan oleh pribadi yang sehat mental adalah penyesuaian diri yang aktif dalam pengertian bahwa individu berperan aktif dalam pemilihan cara-cara pengolahan rangsang itu.
·         Individu tidak seperti binatang atau tumbuhan hanya reaktif terhadap lingkungan.
·          Dengan kata lain individu memiliki otonomi dalam menanggapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
·         Orang yang dapat menyesuaikan diri secara aktif dan realistis sambil tetap mempertahankan stabilitas diri mengindikasikan adanya kesehatan mental yang tinggi pada dirinya. Sebaliknya mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri secara aktif, tidak realistik dan tidak stabil dirinya menunjukkan rendahnya kesehatan mental pada dirinya.
·         Pada orang sehat mental stabilitas diri dipertahankan. Dalam menyesuaian diri dengan lingkungan, individu dapat menerima apa yang ia anggap baik dan menolak apa yang ia anggap buruk berdasarkan pegangan normatif yang ia miliki.
·         Di sini terlihat adanya otonomi diri dalam penyesuaian diri yang memperlihatkan stabilitas diri individu.
·         Otonomi ini menandakan bahwa ada pusat diri pada manusia yang mengorganisasi keseluruhan dirinya.
·         Meski penyesuaian diri perlu terus dilakukan namun kondisi dalam diri tetap stabil dan memiliki kesatuan. Keadaan diri yang stabil dan berkesatuan itu selalu dipertahankan oleh individu yang sehat.
·         Penyesuaian diri pada orang yang sehat selalu didasarkan pada penilaian terhadap kehidupan dan keadaan diri sendiri.
·          Pilihan cara-cara menanggapi rangsangan, ajakan dan dorongan selalu didasarkan pada pertimbangkan kondisi kehidupan yang sedang dijalaninya yang diperbandingan dengan kondisi diri sendiri.
·         Orang yang sehat akan melihat masalah nyata apa yang dihadapinya dan bagaimana kondisi dirinya berkaitan dengan masalah itu sebelum menentukan tindakan yang akan diambil.
·         Di sini terlihat bahwa orang yang sehat memiliki kemampuan memahami realitas internal dan eksternal dirinya. Ia tidak bereaksi secara mekanik atau kompulsif-repetitif tetapi berespons secara realistis dan berorientasi pada masalah.

Karakteristik Individu yang Sehat Mental
·         Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif.
·         Memiliki interaksi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi problema hidup termasuk stress.
·         Mampu mengaktualisasikan secara optimal guna berproses mencapai kematangan.
·         Mampu bersoiallisasi dan menerima kehadiran orang lain
·         Menemukan minat dan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan
·         Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya.
·         Mawas diri atau memiliki control terhadap segala kegiatan yang muncul
·         Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.

Gangguan kesehatan mental
·         Individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan menunjukkan adanya masalah kesehatan mental.
·         Gangguan stres berat, depresi, frustasi yang menyebabkan agresi, histeria,bahkan psikopati dan psikosis

Faktor penyebab Gangguan Mental
·         Ketidakmampuan penderitanya dalam menghadapi kenyataan yang terjadi padanya.
·         Individu-individu yang hanya bertindak reaktif terhadap rangsangan, dorongan dan ajakan.
·         Mereka tidak mampu mengontrol dan menguasai diri sendiri sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang tepat dalam setiap kondisi yang dihadapinya.
·         Individu yang tidak mampu mempertahankan stabilitas diri juga mengindikasikan adanya gangguan mental dalam hal otonomi dan kesatuan diri. Disintegrasi diri merupakan ciri utama pada gangguan-gangguan psikosis.
·         Ketiadaan atau kekurangan kemampuan menilai lingkungan dan diri sendiri secara realistis sehingga tidak mampu mengambil keputusan yang tepat juga menjadi indikasi dari adanya gangguan atau hambatan dalam perkembangan mental.
·          Gangguan yang berkaitan dengan kemampuan menilai lingkungan dan diri secara realistis ini dapat mengarahkan orang pada gangguan neurosis dan psikosis.
·         Gordon W. Allport, Carl Rogers, Abraham Maslow dan Viktor Frankl pribadi yang sehat selalu ditandai dengan
·         keinginan untuk tumbuh dan berkembang, berorientasi  ke masa depan sambil tetap realistis dan mampu melakukan inovasi bagi diri serta lingkungannya.
·         Artinya perbaikan kemampuan penyesuaian diri tidak hanya perlu dilakukan pada mereka yang mengalami gangguan mental tetapi juga pada siapa saja.
·         Inilah yang kemudian disebut Dadang Hawari sebagai dimensi sehat itu, yaitu : Bio-psiko-sosial-spiritual.
·         Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak hanya sebatas pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis melainkan patut pula dilihat sejauh mana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problem hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat adalah sebagai berikut :
·         Dapat menyesuaikan diri secara konstuktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk banginya.
  • Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
  • Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
  • Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
  • Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
  • Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari.
  • Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
  • Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.

Prinsip kesehatan mental
·         Prinsip kesehatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan
  • Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri (self image)
  • Prinsip ini dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Citra diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara pikir dan corak penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula.
  • Keterpaduan antara Integrasi Diri. Adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup dan kesanggupan mengatasi stres (Sururin,2004: 146).
  • Perwujudan Diri (aktualisasi diri)
  • Inilah proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu
  • Mengaktualisasikan diri atau mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan.
  • Mau menerima orang lain, mampu melakukan aktifitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal.
  • Berminat dalam tugas dan pekerjaan
  • Suka pada pekerjaan tertentu walaupun berat maka akan mudah dilakukan dibandingkan dengan pekerjaan yang kurang diminati.
  • Agama, cita-cita, dan falsafah hidup. Demi menggapai ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan.
  • Pengawasan diri
  • Hal ini dapat dilakukan terhadap keinginan-keinginan dari ego yang bersifat biologis murni. Sehingga dapat dikendalikan secara sehat dan terarah.
  •  Rasa benar dan tanggung jawab. Ini penting bagi tingkah laku. Dengan demikian muncul rasa percaya diri dan bertanggung jawab penuh atas segala tindakan sehingga tidak menutup kemungkinan kesuksesan diri akan diraih.





Share:

Sunday, October 13, 2019

LATERALISASI, BAHASA DAN SPLIT BRAIN (OTAK YANG TERBELAH)


LATERALISASI, BAHASA DAN SPLIT BRAIN
(OTAK YANG TERBELAH)

Otak bagi kebanyakan orang dianggap sebagai dasar dalam diri manusia yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Hampir setiap manusia memiliki beberapa bagian yang digolongkan dalam bagian kiri dan kanan. Sama halnya dengan itu, otak merefleksikan prinsip umum duplikasi pembagian kiri dan kanan. Di belahan hemisfer kanan dan kiri semuanya terpisah, kecuali serebral commisures. Dibawah ini merupakan sub pembahasan yang menjelaskan lebih lanjut hubungan lateralisasi, bahasa dan otak yang “terbelah”.

A.    Lateralisasi fungsi serebral
Lateralisasi fungsi dapat diartikan sebagai lokalisasi pusat kendali untuk sebuah fungsi khusus dalam otak. Lateralisasi pada bab ini menitikberatkan pada kemampuan-kemampuan yang berbeda pada masing-masing otak dan pada bagian-bagian tertentu mempunyai fungsi secara independen.
Berbagai macam penemuan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan mengenai otak yang berkaitan dengan bahasa.
1.      Marc Dax (1836)
Pasien dengan kerusakan otak dan masalah bicara, tidak satupun yang mengalami kerusakan yang terbatas pada hemisfer kanannya. Ini menandakan bahwa hemisfer kiri berpengaruh terhadap kemampuan menghasilkan atau memahami bahasa (aphasia : defisit yang dihasilkan kerusakan otak terhadap kemampuan menghasilkan atau memahami bahasa).
2.      Didukung dengan adanya kontribusi lebih lanjut dari Paul Broca (1864) yang melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pasien dan melihat kenyataan bahwa mereka semua memiliki kerusakan pada korteks prefontal inferior di hemisfer kiri. (Broca’s area)
3.      Penemuan lainnya tentang apraxia (gangguan dimana pasien mengalami banyak kesulitan dalam melakukan gerakan di luar konteks, tetapi bisa melakukannya bila tidak di sengaja atau secara alamiah) yang dicetuskan oleh Hugo-Karl pada 1900-an.
Dari bukti-bukti tersebut yang menerangkan secara gamblang bahwa hemisfer kiri memainkan peran khusus dalam bahasa dan gerakan yang disengaja, dari bukti itu juga memunculkan konsep dominasi serebral yang mengakibatkan adanya sebutan hemisfer dominan untuk hemisfer kiri dan hemisfer minor untuk hemisfer kanan.
Dibawah ini merupakan teknik untuk membandingkan efek lesi hemisfer kiri dan kanan. Tes sodium amital, tes pendengaran dikotik dan pencitraan fungsional otak adalah tiga diantaranya.


1.      Tes sodium amital
Melibatkan pembiusan pada salah satu hemisfer serebral yang lain yang memiliki peran dominan dalam bahasa.
2.      Tes pendengaran dikotik
Tes lateralisasi bahasa pada dua sekuensi angka yang berbeda, yang diucapkan secara lisan di kedua telinga yang masing-masing disebutkan angka yang berbeda di masing-masing telinga, kemudian subjek diminta melaporkan semua angka yang didengar.
3.      Pencitraan fungsional otak
Dilakukan dengan menggunakan PET atau fMRI.
Selain beberapa penjelasan di atas, perbedaan jenis kelamin terdapat dalam lateralisasi antara otak laki-laki dan perempuan, berdasarkan penemuan McGlone (1977,1980) terhadap pasien stroke, menyatakan bahwa pasien laki-laki mengalami aphasia lebih banyak dari pada perempuan, dari alasan itu disimpulkan bahwa otak laki-laki lebih terlateralisasi. Selain itu, beberapa studi (Jaeger et. al. 1998; kansaku, Yamaura & Kitazawa, 2000) menyatakan bahwa perempuan menggunakan kedua hemisfer dalam menyelesaikan tugas terkait bahasa dibanding laki-laki.
B.     Otak yang terbelah
Untuk lebih mudah memahami tentang otak yang terbelah, hendaknya mengetahui istilah corpus callosum, yaitu komisura serebral terbesar yang seolah membelah otak menjadi dua bagian yang jelas yaitu kanan dan kiri. Salah satu fungsinya adalah untuk mentransfer informasi dari hemisfer satu ke hemisfer lain dan apabila corpus callosum dipotong, masing-masing hemisfer dapat berfungsi secara independen (menurut Eksperimen Perintis dari Myers dan Sperry dari hewan kucing yang optic chiasma dan korpus kalosumnya ditranseksi). Salah satu hemisfer yang bekerja sendiri dapat mempelajari tugas-tugas sederhana secepat bila dua hemisfer bekerja bersama-sama
Pasien yang otaknya terbelah (split brain-patient) dalam beberapa hal tampaknya memiliki dua otak independen, masing-masing dengan aliran kesadaran, kemampuan, ingatan dan emosinya sendiri (Gazzaniga, 1967; Gazzaniga & Sperry, 1967; Sperry, 1964)
Hemisfer kanan memiliki kemampuan memahami instruksi sederhana, menerima informasi sensorik dari medan visual kiri dan mengontrol motorik respons motorik halus tangan kiri, tetapi tidak bisa mengontrol kemampuan berbicara. Sedangkan hemisfer kiri, memiliki kemampuan secara verbal, menerima informasi sensorik dari medan visual kanan dan mengontrol respons motorik halus tangan kanan.
Bukti hemisfer seorang split-brain patient dapat berfungsi secara independen dicontohkan apabila tangan kanan yang dikaitkan dengan hemisfer kiri mampu mendeteksi dan mengatakan (berbicara) bahwa apel adalah “apel”, akan tetapi bila hemisfer kanan yang tidak memiliki kemampuan verbal diminta mengatakan identitas tentang objek yang sebelumnya “apel”, hemisfer kanan tidak dapat melakukannya. Yang menakjubkan, semua pasien, meskipun menyatakan (hemisfer kiri yang mengatakan) ketidakmampuannya untuk mengidentifikasi objek yang dipresentasikan di medan visual kiri atau tangan kiri, tangan kirinya (hemisfer kanan) dapat mengidentifikasi dengan benar.
Selain beberapa hal di atas, komunikasi juga terjadi di kedua hemisfer walaupun bukan sarana komunikasi neural langsung, tetapi lewat jalur tak langsung yang melalui batang otak, kedua hemisfer dapat berkomunikasi satu sama lain melalui rute eksternal, proses ini disebut cross-cuing.
Kemampuan istimewa otak yang terbelah untuk melakukan dua hal sekaligus  juga didemonstrasikan dalam tes atensi, masing-masing hemisfer split-brain patient tampaknya mampu mempertahankan sebuah fokus perhatian yang independen (lihat Gazzaniga, 2005). Hal ini memunculkan sebuah pola hasil bahwa split-brain patient dapat mencari dan mengidentifikasi pernyataan target visual dibanding objek kontrol yang sehat/normal (Luck et al., 1989) –mungkin karena dua hemisfer yang terbelah menjalankan dua pencarian secara independen.
Pada kebanyakan split-brain patient, hemisfer kanan tampaknya tidak memiliki keinginan kuat sendiri; hemisfer kirilah yang tampaknya mengontrol sebagian besar aktivitas sehari-hari. Dalam kasus ini, bisa terjadi konflik yang serius  antara hemisfer kiri dan kanan yang berlainan kehendak.
Hemisfer split-brain patient lebih berkemungkinan untuk  bekerja secara independen di beberapa tes dibanding beberapa tes lainnya, tetapi kadang dua pasien mendapatkan hasil yang sama di tes yang berbeda di dalam independensi hemisferik mereka (lihat Wolford Miller & Gazzaniga, 2004). Kenyataannya, hemisfer yang dipisahkan melalui operasi masih mempertahankan kemampuannya untuk berinteraksi mealalui batang otak dan dalam beberapa kasus dapat berfungsi bersama-sama.
C.    PERBEDAAN ANTARA HEMISFER KIRI dan KANAN
Untuk banyak fungsi tidak ada banyak perbedaan unsur diantara kedua hemisfer, bila ada, perbedaan itu cenderung kecil (bias kecil) bukan perbedaan mutlak (absolut). Namun, diyakini secara luas bahwa berbagai kemampuan secara ekslusif terletak pada salah satu hemisfer. Padahal, -jika kemampuan itu terkait bahasa- ada aktivitas terkait bahasa yang substansial di hemisfer kanan. Artinya, tidak absolut pada hemisfer kiri, walaupun hemisfer kiri lebih unggul dari hemisfer kanan (yang sama dengan kemampuan bahasa anak prasekolah).

1.      Lateralisasi fungsi serebral
Dalam hal ini gagasan mengenai dominasi hemisfer kiri tidak berlaku lagi, karena lateralisasi fungsi serebral telah menunjukkan bahwa hemisfer kanan memiliki keunggulan-keunggulan tertentu yang tidak dimiliki hemisfer kiri.

Fungsi Umum
Dominasi
Hemisfer Kiri
Dominasi
Hemisfer Kanan
Penglihatan
Kata, huruf
Wajah, pola geometris, ekspresi emosi
Pendengaran
Bunyi bahasa
Bunyi non-bahasa, musik
Perabaan

Pola taktil, huruf braille
Gerakan
Gerakan kompleks,
Gerakan ipsilateral
Gerakan dalam pola spasial
Ingatan
Ingatan verbal
Menemukan arti dalam ingatan
Ingatan nonverbal
Aspek-aspek perseptual ingatan
Bahasa
Bicara, membaca, menulis, aritmatika
Keandungan emosional
Kemampuan spasial

Rotasi mental berbagai bentuk, geometri, arah, jarak
Contoh lateralisasi fungsi serebral di masing-masing hemisfer.

Selain lateralisasi diatas, superioritas atau keunggulan secara spesifik di masing-masing hemisfer juga menjadi hal yang perlu dijelaskan. Diluar dugaan superioritas hemisfer kiri ditemukan oleh studi pencitraan otak. Hemisfer kiri mampu mengontrol gerakan ipsilateral (dua bagian tubuh). Efek ipsilateral ini secara substansial lebih besar di hemisfer kiri daripada hemisfer kanan (Kim et al., 1993). Hal ini menunjukkan bahwa lesi hemisfer kiri lebih berkemungkinan untuk menghasilkan masalah-masalah motorik ipsilateral daripada hemisfer kanan.
 Sementara itu, hemisfer kanan memiliki keunggulan di kemampuan spasial, emosi dan musikal. Hemisfer kanan lebih unggul dalam tugas-tugas spasial daripada hemisfer kiri, terbukti pada tes, tangan kiri (hemisfer kanan) lebih cepat dan tanpa adanya suara (verbal) sementara kinerja tangan kanan (hemisfer kiri) tampak penuh keraguan (diucapkan verbal) saat membedakan balok tiga dimensi yang berbeda yang diletakkan di masing-masing tangan.
Pada konsep lama, dinyatakan bahwa hemisfer kanan tidak terlibat dalam emosi. Namun, kenyataanya hemisfer kanan lebih unggul dalam mengerjakan tes emosi (misal : ekspresi wajah) daripada hemisfer kiri.
Hemisfer kanan juga unggul dalam kemampuan musikal. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kimura (1964) melalui pendengaran dikotik, bahwa hemisfer kiri diketahui lebih baik dalam membaca digit angka, tetapi pada tes yang sama (digit angka diganti dengan melodi yang berbeda di masing-masing telinga) terbukti bahwa telinga kiri (hemisfer kanan) lebih superior dalam persepsi melodi.
Selain superioritas, perbedaan selanjutnya adalah perbedaan yang menyangkut ingatan di masing-masing hemisfer. Kedua hemisfer memiliki kemampuan serupa yang diekspresikan dengan cara yang berbeda. Hemisfer kiri lebih besar dalam ingatan verbal (berkaitan dengan bahasa) sementara hemisfer kanan lebih besar dalam ingatan yang berkaitan dengan materi non-verbal. Jadi, kemampuan ingatan tidak terletak di salah satu hemisfer saja.
2.      Asimetri anatomis otak
Perbedaan anatomis di antara kedua hemisfer diakibatkan oleh adanya perbedaan interhemisferis dalam ekspresi gen. Sebagian besar penelitian difokuskan pada usaha mendokumentasikan asimetri anatomis di daerah korteks yang penting untuk bahasa. Yaitu, frontal operculum, planum temporale dan Heschl’s gyrus.
Frontal operculum (operculum serebral) yaitu daerah pada korteks prefrontal yang di hemisfer kirinya merupakan lokasi Broca’s area. Terletak di depan wajah korteks motorik primer. Planum temporale yaitu daerah korteks lobus temporal yang terletak di posterior fisura lateral dan di hemisfer kiri, yang berperan dalam komprehensi bahasa. Sedangkan Heschl’ gyrus berlokasi di fisura lateral di posisi anterior terhadap planum temporale di lobus temporal. Hal ini merupakan bagian/lokasi korteks auditori primer.
Planum temporale lebih dominan di hemsifer kiri dan di hemisfer kanan terdapat dua korteks gyrus Heschl (lokasi korteks auditori primer). Sehingga kenyataannya manusia tidak hanya menggunakan hemisfer kiri untuk kemampuan bahasa. Daerah operkulum frontal yang terdapat di permukaan otak cenderung lebih besar di hemisfer kiri, ini meredisposisikan hemisfer kiri untuk lebih dominan dalam bahasa. Tetapi hanya ada sedikit bukti bahwa orang dengan asimetri planum temporale, cenderung memiliki fungsi bahasa yang lebih terlateralisasi. Namun, ketiga bagian tersebut tidak ada kaitannya dengan bahasa bila diterapkan pada non-manusia.
3.      Teori-teori Lateralisasi Fungsi Serebral
Teori ini disulkan untuk menjelaskan mengapa lateralisasi fungsi serebral berevolusi.
a.       Teori analitis-sintesis
Teori ini menyatakan bahwa “...hemisfer kiri beroperasi dengan cara yang lebih logis, analitis, mirip komputer yang menganalisis stimulus input informasi secara sekuensial dan mengabtraksikan detail-detail yang relefan, yang ditempelinya dengan label verbal. Sedangkan hemisfer kanan, terutama berfungsi sebagai pesintesis, lebih peduli dengan konfigurasi stimulus secara keseluruhan dan mengorganisasikan serta memproses informasi secara keseluruhan (Harris, 1978, hlm.463). Meskipun telah diketahui secara populer di kalangan psikologi, ketidakjelasannya menjadi masalah karena sulit dibuktikan secara empiris.


b.      Teori motoris
Menurut teori ini, hemisfer kiri terspesialisasi bukan untuk mengontrol bicara itu sendiri, tetapi untuk pengontrolan gerakan halus yang bicara termasuk salah satu kategorinya. Teori ini didukung dengan laporan bahwa lesi yang menghasilkan afaksia juga menghasilkan defisit-defisit motorik lainnya.
Salah satu kelemahan teori ini adalah ia tidak menjelaskan mengapa fungsi motoris cenderung menjadi terlateralisasi ke hemisfer kiri (lihat Beaton, 2003)
c.       Teori Linguistik
Teori ini menyatakan bahwa peran utama hemisfer kiri adalah bahasa –berlawanan dengan teori analitis-sintetis dan teori motoris yang melihat bahasa sebagai spesialisasi sekunder yang terletak di hemisfer kiri karena spesialisasi primer hemisfer masing-masing adalah untuk pemikiran analitis dan aktivitas motoris. Faktanya, kerusakan hemisfer kiri dapat medisrupsi penggunaan bahasa isyarat tetapi tidak mendisrupsi gerakan-gerakan pantomim bahwa spesialisasi fundamental hemisfer kiri adalah bahasa.
D.    LOKALISASI KORTIKAL BAHASA : MODEL WERNICKE-GESCHWIND
Sebelum membahas tentang lokalisasi bahasa, dijelaskan lagi bahwa lokalisasi bahasa berbeda dengan lateralisasi bahasa. Bila lateralisasi bahasa mengacu pada pengontrolan relatif fungsi terkait bahasa oleh hemisfer kiri dan kanan, maka lokalisasi bahasa mengacu pada lokasi sirkuit-sirkuit yang berpartisipasi dalam aktivitas terkait bahasa di dalam hemisfer.
Teori lokalisasi bahasa yang dominan dipakai oleh sebagian besar peneliti untuk memahami lokalisasi bahasa yaitu menggunakan model Wernicke-Geschwind.
1.      Kejadian historis model Wernicke-Geschwind
Sejarah lokasilasi dimulai dari adanya pendapat Broca tentang Broca’s area sebagai pusat produksi bicara. Broca menghipotesiskan bahwa program-program artikulasi, disimpan di daerah ini dan bahwa bicara dihasilkan ketika program-program ini mengaktifkan daerah yang berdekatan dengan gyrus prefontal yang mengontrol otot wajah dan rongga mulut.
Pada 1874, ketika Carl Wernicke menyimpulkan berdasarkan kasus klinis bahwa ada daerah bahasa di lobus temporal kiri tepat di posisi posterior terhadap korteks auditorik primer (yaitu, di planum temporale kiri). Daerah kortikan komprehensi bahasa yang kemudian di sebut Wernicke’s area.
Lesi-lesi selektif pada Broca’s area menghasilkan sebuah sindroma afasia yang gejalanya bersifat ekspresif –yakni pembicaraan yang diucapkan lambat, berat, tergagap tetapi tetap bermakna (Broca’s aphasia)- sedangkan di daerah wernicke’s area akan menghasilkan sindroma afasia yang defisitnya bersifat reseptif –bahasa lisan ataupun tertulis yang terstruktur, berima, intonasi normal tetapi tanpa arti (Wernicke’s aphasia).
2.      Penjelasan model Wernicke-Gechwind
Sebelum ke pembahasan, ada tujuh komponen model Wernicke-Gechwind : korteks visual primer, girus anguler, korteks auditorik primer, wernicke’s area, fasikulus arkuat, Broca’s area dan korteks motorik primer (semuanya berada di hemisfer kiri).
Cara kerja model Wernikce-Geschwind pada kegiatan merespon terhadap pertanyaan yang terdengar dan pada proses membaca keras-keras akan dijelaskan di bawah ini.
a.       Pada kegiatan merespon terhadap pertanyaan yang terdengar:
1)      Sinyal auditorik diterima oleh korteks auditorik primer
2)      Sinyal tersebut diteruskan ke wernikces area untuk dipahami
3)      Bila respon siap diberikan, wernicke’s area menghasilkan represetasi neural untuk menanggapi pertanyaan tersebut
4)      Kemudian ditransmisikan ke Broca’s area melalui fasikulus arkuat kiri
5)      Di Broca’s area sinyal mengaktifkan program artikulasi yang tepat
6)      Terakhir, korteks motorik primer akan menggerakkan artikulas sehingga terjawab pertanyaan yang terdengar
b.      Pada proses membaca keras-keras :
1)      Isi bacaan diterima oleh korteks visual primer
2)      Kemudian ditransmisikan ke girus anguler kiri untuk diterjemahkan dari bentuk visual kata menjadi kode auditorik
3)      Kode auditorik ditransmisikan ke wernicke’s area untuk dipahami sehingga menimbulkan respon yang tepat
4)      Lewat fasikulus arkuat, sinyal tersebut menuju Broca’s area untuk mengaktifkan bagian artikulasi yang sesuai
5)      Kemudian sampai di korteks motorik yang akan memunculkan bunyi bicara yang sesuai dengan bacaan.
Kunci :
Gyrus anguler                 : menerjemahkan bentuk visual menjadi kode auditorik
Korteks motorik primer   : mengatur otot artikulasi
Korteks visual primer      : mengatur hasil penglihatan
Korteks auditori              : mempersepsikan kata tertulis
Fasikulus arkuat              : membawa sinyal dari wernicke’s area ke broca’s area
E.      


Share:
Powered by Blogger.