Saturday, October 12, 2019

FILSAFAT; ETIKA DAN ESTETIKA


ETIKA ---CABANG AKSIOLOGI

Etika merupakan pembicaraan tentang predikat-predikat nilai “betul” dan “salah” dalam artu “susila (moral) dan “tidak susila (imoral)
Dalam pokok bahasan khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat diakatakan susila atau bajik—kebajikan-kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan-kejahatan---yang diakatakan orang yang  tidak susila.

Penggunaan bom atom----apakah penggunaan tsb bersifat susila?, apakah dapat dikatakan betul?
$Kesusilaan dan ketidaksusilaan----perbuatan yang menyangkut bidang apakah?

#etika, makna dan masalahnya-----saya telah belajar etika,..dimaksdukan kumpulan pengetahuan tentang penilaian thd perbuatan-perbuatan manusia.
“ia bersifat etis atau Ia orang jujur”, pembunuhan merupakan perbuatan yang tidak susila----jadi “bersifat etik”—merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia  dengan yang hal-hal, perbuatan dan manusia yang lain.
Perlu diingat: etika sebgai ilmu pengetahuan----berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Pembedaan ini sama dengan pembedaan antara berbicara mengenai kesusilaan dengan berbicara menurut istilah kesusilaan
Ingat juga pembedaan antara keharusan dengan kenyataan---di negeri X hubungan sex sebelum pernikahan sebagai hal yang susila”---dalam ilmu pengetahuan yang menggabarkan obyek secara deskriptif--- mrp etika deskriptif
Dilain pihak, etika acap kali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari penilaian tanggapan atau penilaian thd perbuatan-perbuatan.----ini membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi---mrp etika normatif.

#Etika kefilsafatan ---membicarakan makna yang terkadung dari predikat-predikat kesusilaan.---yaitu dengan menyelidiki penggunaan predikat-predikat yang dikandung dalam pernyataan-pernyataan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan mempertanyakan makna yang diakndung dalam istilah-istilah kesusilaan, yang dipakai dalam tanggapan-tanggapan kesusilaan.

#etika praktis---seorang dokter diminta oleh pasien untuk menyuntik mati dirinya”—apakah ini perbuatan susila?
Masalah-masalah etika : contoh diatas menggambarkan tiga macam prinsip mendasari keputusan. Prinsip tsb menyingkap masalah pokok dalam etika:
  1. prinsip-prinsip apakah yang dipakai sbg dasar keputusan untuk membuat tanggapan kesusilaan---
  2. bagaimana cara mengambil keputusan ttg perbuatan yang harus dilakukan.
  3. perbuatan-perbuatan apakah yang dikatakan betul---artinya dapat dibenarkan dari segi kesusilaan.


  Penilaian keindahan
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
[sunting]Konsep the beauty and the ugly
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.
[sunting]Sejarah penilaian keindahan
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.
keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspak rohani






Menurut Inu Kencana S. (2007:39) estetika berasal dari bahasa yunani yaitu Aistheis yang berarti pengamatan. Jika berbicara tentang keindahan dapat dirasakan dari pengalaman tentang dunia di sekeliling kita, sehingga ditemukan suatu batasan yang membedakan cita rasa tentang indah, bagus, elok, cantik di satu pihak dan kejelekan sebagai lawannya.

Estetika atau keindahan berkaitan erat dengan seni. Menurut George R. Terry (1964): seni adalah kekuatan pribadi seseorang yang kreatif, ditambah dengan keahlian yang bersangkutan dalam menampilkan tugas pekerjaannya. Pada intinya, estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika tersebut, maka lahirlah berbagai macam teori tentang kesenian atau aspek seni dari berbagai macam aspek budaya. Jadi,Estetika adalah studi tentang bentuk ideall dan keindahan. Estetika sering juga disebut dengan filsafat seni (Philosophy of art).

Segala sesuatu yang ada di dunia, entah itu ciptaan Tuhan ataupun ciptaan manusia, pasti memiliki nilai estetis atau keindahan. Keindahan tersebut dapat berupa keindahan visual yakni segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata dan setetis, selanjutnya adalah keindahan audio, tentunya adalah bunyi-bunyian yang dapat menghadirkan nilai keindahan di pendengaran kita. Yang terakhir adalah estetika yang berupa audio visual, yakni segala sesuatu keidahan yang dapat dilihat dan didengar. Jadi pada intinya, estetika berbicara mengenai rasa (sense, perceive, taste).

A.A.M. Djelantik, menjelaskan bahwa hal-hal yang indah dapat dibagi atas dua golongan, yang pertama keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia, sedangkan yang kedua adalah hal-hal indah yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia.

Sebelum membahas lebih jauh tentang estetika dalam sastra, maka ada baiknnya seseorang mengetahui pengertian sastra secara umum. Sastra secara umum dapat diartikan sebagai tulisan yang indah dan bermanfaat. Indah mencakup gaya bahasa, tema, makna, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal tersebut. Bermanfaat berarti berguna bagi pembaca, entah itu hanya sebagai penghibur ataupun sebagai idealisme baru yang didapatkan dari dalam karya sastra sendiri.

Karya sastra akan terlihat estetis, jika karya tersebut lebih mementingkan manfaat bagi pembaca. Tema yang diangkat pun bukan hanya tema yang dapat dikatakan “sekali jadi”. Hal tersebut tentu akan berbeda jika karya sastra hanya sekedar karya sastra yang kosong, alias tanpa isi. Artinya hanya sekedar tulisan-tulisan yang tidak bermakna. Kaitannya dengan hal tersebut, dalam sejarah sastra di Indonesia, dikenal pembagian sastra ke dalam dua bagian besar, yaitu sastra untuk sastra dan sastra untuk masyarakat.

Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)
Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.

Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.
Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)

Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika sendiri, salah satu definisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers,
"aesthetics is the branch of philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects"( Sutrisno,1993. Hal 16)


Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri.
Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu,
1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau alam indah serta karya Seni.
2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh pengamat ( pengalaman keindahan yang dialami seseorang). ( Sutrisno, hal 81)

Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. (Sutrisno, hal 82)

Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.

Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan tulisan saat itu.
Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti yang kemudian dipergunakan secara luas.

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi)


Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". (www.uiah.fi)
Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik.
Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi)

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.(Sutrisno,1993,hal 34)

Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)
Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'.
Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan ( Yunani ; to kalon ), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada.
Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.

Aristoteles (384-322 SM) memiliki kebiasaan untuk memperjelas konsep konsep melalui perhitungan komponen-komponen. Untuk keindahan ( Yunani : kalliste) hal tersebut adalah keberaturan , perulangan ukuran (Yunani : symmetria) dan kepastian.

Dalam pembahasan ilmiah mengenai Seni, dipikirkan bahwa keindahan merupakan bagian dari objek.
Tidak semua filosof jaman antik setuju pada teori keindahan tersebut. Secara kontras, Epicurus menyajikan teori yang berbeda, menetapkan bahwa ketika seseorang merasakan keindahan, perasaan pribadi ( Yunani ; hedone ) dilibatkan. Dalam tulisan Epicurus, ditemukan teori hedonistik yang orisinal, yang mengaitkan pengalaman indah dengan perasaan yang menyenangkan.

Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif.
Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti simetri (simetri dalam pengertian 'persetujuan yang tepat antara bagian bagian karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang terpilih).
Vitruvius, mencetuskan prinsip dasar dari Arsitektur, yaitu :
Keberaturan, Sintaks, Eurythmy, Symmetry, Propriety, Efesiensi. (Fundamental Principles of Architecture)

Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perban-dingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek.
Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.

Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti ( 1404 -1472 ), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk', hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain.( Fundamental Principles of Architecture)

Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan.
Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.

Mayoritas peneliti yang membahas keindahan akhirnya mengadopsi pandangan bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja, akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan.

Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;
M = O / C
Nilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas
M = ( measure )Nilai keindahan
O = ( order )Keberaturan
C = ( complexity )Kompleksitas

Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas ( hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi ( angka kecil dibagi tiga ).

Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai.
Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter Birkhoff.

Pada saat ini, "mainstream" dari penelitian estetika lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan obyek.
Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.

Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l'Orme ( sekitar 1510 - 1570 ) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.

Philibert de l'Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda ( menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi ). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut.(Www.uiah.fi)
Hal ini mendorong de l'Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan.

Pemikiran Philibert de l'Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 - 1688) dan diekspresikan secara khusus dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut (beaut
positive ); melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar (beaut arbitraire). (Www.uiah.fi)

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan. (Www.uiah.fi)
Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah "Arkitekturens uttrycksmedel" oleh Sven Hesselgren (1954). Buku tersebut dipengaruhi oleh contoh J.S. Sirns ( Finnish Professor pada arsitekture, 1889 - 1961 ) pengajar bentuk :
'resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil'.

J.S. Sirns menerangkan bahwa sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar mengenai kontras. (Www.uiah.fi)

Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan .... kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. (Www.uiah.fi)

Penelitian dalam psikologi persepsi dan estetika dikembangkan secara khusus sebagai ilmu yang dikenal sebagai art psycology.
Psikologi persepsi berkembang dari psikologi tradisional dimana manusia dan lingkungan merupakan elemen dasar dan saling mempengaruhi satu sama lain melalui stimuli dan respon.

Sekolah psikologi behaviorisme mempertimbangkan apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan "Apa yang terjadi pada kesadaran dan kognisi manusia dalam jangka waktu antara diterimanya stimuli dan memberikan respon ? ", karena kandungan dan fungsi dari kesadaran tidak dapat dikaji secara tepat tanpa mencampuri keduanya.

Teoritikus psikologi kognitif memiliki pandangan berbeda;, model hipotesis dari fungsi kesadaran diuraikan dengan sangat detail. Model tipikal disajikan oleh Matti S, 1985.
Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi - kognisi - intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.

Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi tersebut tetap sama. (Www.uiah.fi)

Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya.
Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan.

Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.

Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
1. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
2. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.